Politik uang atau money politics masih menjadi masalah besar dalam perkembangan demokrasi di Indonesia –sama halnya dengan di berbagai negara lainnya. Terutama di momen-momen seputar agenda pemilihan umum seperti Pilkada, juga Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang kebetulan segera digelar tahun 2019 depan, masalah ini pun kembali mencuat.
Sehubungan dengan itu, Suara.com sempat berbincang banyak dengan Burhanuddin Muhtadi, seorang peneliti yang juga menjabat Direktur Eksekutif di lembaga Indikator Politik Indonesia. Dia juga sebagai Dosen Tetap Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah.
Berikut petikan wawancara yang dilakukan beberapa waktu lalu di kantornya:
Bisa dijelaskan disertasi Anda soal politik uang dalam Pemilu dan broker politik?
Jadi, disertasi saya awalnya muncul dalam konferensi atau workshop ilmiah di Bali. Saya dilibatkan dalam proyek besar (tentang) money politics (Money Politics: Patronage and Clientelism in Southeast Asia). Ada beberapa peneliti besar dunia seperti Edward Aspinall yang sedang melakukan perumusan proposal terkait penelitian tentang politik uang di empat negara, di Indonesia, Filipina, Malaysia dan Thailand, di Bali tahun 2011.
Jadi ide tentang disertasi saya muncul dari workshop itu, sebelum saya resmi menjadi mahasiswa doktoral di Australian National University (ANU). Saya resmi menjadi mahasiswa Phd itu tahun 2013, jadi dua tahun sebelumnya saya pernah dilibatkan dalam proyek itu. Nah, idenya kira-kira, karena saya fokus di Indonesia, idenya muncul karena keprihatinan. Karena sebagai negara demokrasi baru, proses politik di Indonesia itu diganggu oleh patronase politik elektoral bernama money politics. Jadi, pemilih atau pejabat publik itu tidak bisa all out untuk merepresentasikan kepentingan publik, karena dia merasa sudah membeli pemilih. Jadi pemilih tidak dianggap, tidak punya mandat demokratik untuk menuntut hak kepada pejabat publik yang terpilih dalam proses pemilu, karena mandat demokratik itu sudah ditukar dengan uang.
Nah, dalam studi tentang political clientelism, ini yang disebut dengan perverse accountability, pertanggungjawabannya tertukar. Kalau dalam demokrasi, pemilih seharusnya berhak untuk menuntut kepada politisi, karena pemilih ini sudah memberikan suara. Tetapi dalam politik demokrasi yang dikuasai oleh politik uang, bukan pemilih yang punya hak menuntut pertanggung jawaban, tetapi justru politisi yang menuntut balik kepada pemilih agar memilihnya karena mereka sudah menerima uang.
Jadi ada argumen normatif yang membuat concern saya selain politik uang, faktor yang selama ini turut dibicarakan secara masif, bahwa politik itu mahal, karena proses kampanye yang menyebabkan salah satunya politik uang itu sendiri secara masif. Tetapi sering kali kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa data yang tersedia itu bersifat anecdotal. Jadi masing-masing lembaga atau peneliti tidak mempunyai alat ukur yang jelas yang bisa diperbandingkan dengan negara lain. Ketika bicara soal seberapa besar politik uang, itu kita sering kali berbeda-beda, tidak bisa dibandingkan dengan negara lain.
Nah, saya punya ambisi untuk meneliti tentang politik uang dengan menempatkan Indonesia dengan perspektif komparatif. Kalau kita bicara perspektif komparatif, studi tentang politik uang itu sudah established di negara-negara Amerika Latin, Afrika, termasuk beberapa negara Asia yang lain. Sedangkan penelitian di Indonesia itu masih kosong. Kebanyakan peneliti kita jago kandang. Jadi pada titik itu project disertasi saya dimulai. Petualangan menempuh studi doktoral, tapi di saat yang sama mengelola lembaga riset, satu Lembaga Survei Indonesia dan kedua adalah Indikator Politik Indonesia. Saya punya kemewahan untuk melihat klaim yang mengatakan politik uang (itu) besar.
Posted in Politik
© 2024 JURNAL PEMBANGUNAN. All Rights Reserved. • Hak Jawab • Pedoman Media Siber • Privacy Policy • Redaksi • Tentang Kami